Curhat atau entah apalah itu...
Tulisan ini dibuat oleh seorang murid yang memiliki pengalaman
menjadi guru tidak seberapa lama. Hanya pernah 1 tahun mengajar SMP-SMA dan 3
tahun mengajar homeschooling. Pengalaman yang cukup sedikit dibanding
pengalaman penulis 16 tahun menjadi seorang murid. Tulisan inipun sengaja
ditulis berdasar kisah pahit penulis dalam menjalani tugas akhir strata S1 nya.
Perjuangan yang cukup keras dan seringkali membuat sesak nafas tiap kali
bertemu dengan pembimbing. Awal bimbingan berjalan lancar dengan sedikit pemakluman
jika naskah koreksian cukup lama di tangan dosen. Mendekati H-4 bulan sebelum
wisuda (April 2013) penulis mulai sedikit panik dan mengharuskan sikap sedikit
agresif. Bayangkan saja naskah skripsi selesai dalam 1 minggu dan di tangan
pembimbing bisa jadi 1 bulan. Apalagi setelah melihat jatah ajar pembimbing
yang hanya memiliki 4 kelas dalam seminggu ditambah posisi beliau dosen tetap
yang diwajibkan masuk kantor tiap harinya.
Beliau sendiri tidak terlihat sedang menyelesaikan buku atau
proyek akademis ketika itu, selain mengurus pembangunan rumah barunya, bisa
jadi. Keheranan penulis bertambah seiring malasnya beliau untuk sekedar
membalas sms dan mengangkat telpon untuk mengkonfirmasi pertemuan. Siklus
bimbingan pun berjalan zig zag. Semua bab dari bab 1 hingga bab 5 dikoreksi
secara acak. Bagaimana tidak daftar pustaka sudah beres dan beliau kembali
membahas bab 3 lalu bab 1 lalu, entahlah sesuka hati yang pasti.
Pekerjaan di sebuah lembaga (yang sama sekali tidak berpengaruh
terhadap proses pembuatan skripsi) akhirnya penulis tinggalkan atas permintaan
pembimbing, berharap proses bimbingan bisa lebih baik setelah memenuhi kemauan
beliau. Juga kegiatan kemahasiswaan dan organisasi full penulis tinggalkan,
karena konon kegiatan di luar kelas dapat mengganggu intensitas belajar ujar
pembimbing. Nyatanya batas wisuda yang diharapkan molor satu semester juga.
Whatever masa-masa itu telah berakhir dan penulis sangat menyesal tidak dapat
mempertahankan permintaan untuk dibimbing dosen idola yang diinginkan (Luthfi
Assyaukanie, Ph.D).
Intinya penulis KECEWA, owh…
Tradisi apresiasi hasil karya siswa belum terlalu mengakar di
kalangan pengajar Indonesia. Motto arab bahwa “al mudarris ka al malaikat”
(guru sebagai malaikat) dulunya digunakan agar guru membekali diri dengan
pengetahuan dan materi ajar yang benar-benar dipersiapkan, sehingga tidak
terjadi kesalahan dalam apa yang guru ajarkan, bukan sebagai kegiatan mendekte
siswa untuk tunduk terhadap mereka. Banyak model pengajar ditemukan dalam dunia
pendidikan khususnya di kampus tempat penulis belajar. Ada guru yang merasa
superior di hadapan murid, di mana masukan, kritik, ataupun pendapat yang
bergulir dari murid sering diabaikan. Penilaian terhadap murid hanya ditentukan
berdasar nilai akademis dan absen kelas. Satu lagi ada tipe dosen agak aneh,
penilaian hanya diambil dari absen kelas juga sikap murid. Jika ada siswa yang
sedikit tidak sesuai dengan keinginan atau mood dan menyinggung hati dosen maka
berakhirlah riwayatnya. Si korban bisa mengulang mata kuliah tahun depan dan jika
dihadapkan dengan pengajar yang sama, maka korban tindak kekerasan dosen ini
berlaku hingga 2-3 kali pengulangan. Tidak sedikit juga dosen friendly yang
bersahabat dengan mahasiswa. Di kelas seutuhnya mereka berperan sebagai
pengajar, sedang di luar mereka bisa berteman sembari bertukar pikiran tanpa
memandang strata. Penilaian pun diberikan seobjektif mungkin.
Tulisan ini bukan penilaian seorang murid terhadap pengajarnya,
melainkan lebih kepada curhat colongan. Sungguh tipe pengajar yang terakhir
lebih diidamkan oleh siswa ketimbang pengajar yang merasa lebih intelek dari
mahasiswa dan mengharapkan puja. Sejatinya pengajar yang baik adalah mereka
yang mampu menjadikan murid meneladani mereka dengan diam-diam. Bukan karena
intelektualitas yang dipaksakan juga kelebihan yang sengaja ditonjol-tonjolkan.
Mengutip pernyataan Anhar Gonggong (Guru Besar Universitas
Indonesia), “Kalau saya sebagai orang yang terdidik yang tercerahkan, apapun
kedudukan saya, saya tidak akan memikirkan diri saya. Saya memikirkan orang
lain, karena pendidikan saya mengharuskan untuk melakukan itu,'' ujarnya.
Pernyataan tersebut dimuat dalam tulisannya yang menyentil masalah korupsi,
namun pernyataan ini juga berlaku bagi seluruh pendidik dalam semua konteks
keadaan.
Diharapkan penulis dan pembaca bisa belajar menjadi seorang
pengajar yang memenuhi standar dunia pendidikan secara universal. Tidak yang
hanya berlaku di Chicago atau Indonesia saja. Bukan title formalitas yang
diakui oleh diknas melainkan oleh pengakuan mahasiswa secara luas. Juga menjadi
pendidik dan calon pendidik yang tercerahkan. Semoga…
Comments