Nafas di Ujung Hela

Hidup dan mati adalah rahasia Tuhan. Betapa miskinnya kita yang tak memiliki apa-apa, pun dengan nyawa yang melekat dalam raga. Semua milik Tuhan Yang Kuasa. Jangan pernah menyombongkan sedikitpun tampilan bahkan harta yang hanya titipan dariNya. Dua orang sahabat yang meninggalkan kami dalam waktu yang berdekatan. Keduanya meninggalkan luka mendalam, sebuah rasa kehilangan.
 Yang aku kenal Umar Ubaidillah adalah seorang Kakak kelas yang santun, murah senyum, dan baik hati. Ka Ubed, kami memanggilnya. Ia adalah senior kami di Al-Iman. Pribadinya teramat baik sekali. Selalu ada kala kami membutuhkan bantuan. Seingat aku ia tak pernah menolak saat diminta pertolongan. Lihatlah raut mukanya yang selalu berbahagia. Tak pernah aku melihatnya berduka. Aku memang tak terlalu dekat dengan Ka Umar (alm), namun kami pernah bersama-sama melakukan sebuah perjalanan wisata bersama. Menikmati pemandian air panas dan menghadiri resepsi senior di Bandung bersama teman lainnya. Yang aku ingat kuat, Ia pernah mengantar ke pondok PI untuk mengambil baju ganti agar kami dapat menunggu teman yang sedang opname di RS Darmayu lebih lama. Berangkat subuh saat santri lain belum bangun dan mengendap. Kala itu Ka Ubed bisa disebut partner in crime aku kali yaa. Ketika di Jakarta, terkadang ia menjengukku di kampus Paramadina, minta untuk kembali main kesekian kalinya. Sayangnya aku terlalu jahat dengan menolak permintaannya. 2013 lalu kami sudah tak dapat bertemu muka. 
Ia telah menuntaskan studinya di UIN Jakarta dan kembali ke kampung halamannya. Sesekali masih saling menghubungi via phone atau sekedar chatting di FB. Dan lama kami tak bersapa datanglah kabar duka. Ka Ubed telah meninggalkan kami semua. Ia meninggal tanpa sakit dan sebab lainnya. Tidurnya terlalu pulas. Di mata kami (teman-teman AL-Iman) Ka Ubed adalah orang baik, teramat baik. Entahlah bagaimana menuliskan atau menggambarkan kebaikan Ka Ubed tersebut. Ah kenangan demi kenangan masih teringat jelas.   

Dua minggu setelahnya sahabat kami (tepatnya telah menjadi keluarga) dari Komunitas Indonesia Baru (KIBAR) juga menyusul. Kholis Mawardi. Ka Kholis (alm) juga kawan yang teramat baik. Namun tak ada yang bisa mengalahkan secangkir kopi dan sebatang rokok sebagai sahabat karibnya. Ka Kholis seorang pekerja keras. Ia juga tak pernah menolak saat diminta pertolongan. Aktif dalam segala kegiatan, selalu menyibukkan diri. Dengan tablet di tangan, rokok dan kopi, juga speaker musik di sanding, menghabiskan pagi di kursi dekat taman Kibar. Setelah kepulangannya dari Palembang sayangnya aku tak sempat banyak bercakap. Hingga akhirnya dia bertolak kembali ke Palembang dan meninggalkan kami tanpa ucapan selamat tinggal, selamanya.  
Kawan... semoga Allah memudahkan jalan kalian untuk merengkuh surgaNya. Kafa bil mauti mau'idlo, dan cukuplah bagi kami kematian sebagai sebuah nasehat. Agar terus memperbaiki diri dan menebar kebaikan kapan dan di mana saja. Lalu bekal apa yang telah kita miliki saat ini? Saat ajal menghampiri tanpa mendatangkan sebuah pertanda. Sudah siapkah kita?




Comments

Popular Posts