Depresi Ibu Rumah Tangga Itu Nyata

Dulu orang mengenalku sebagai seorang yang aktif. Rajin berorganisasi, bergaul, hingga mengenal dunia kerja. Dulu seakan waktu 24 jam dalam sehari adalah waktu yang tidak cukup bagiku. Saking padatnya kegiatan dan aktifitasku sehari-hari. Bahkan serial drama korea saja aku baru mengenalnya saat menginjak dunia kerja. Kegiatanku selalu berhubungan dengan orang lain dan membutuhkan mobilitas tinggi. Aku senang menjalaninya, dan aku akan membanggakan masa mudaku kelak jika anak-anakku nanti bertanya. 

Kini sudah beda cerita. Lebih dari 7 tahun aku menjalani peran sebagai Ibu Rumah Tangga. Riwayat keguguran pada kehamilan pertama membuatku harus berhati-hati dalam hal apapun hingga berhenti kerja. Saat ini aku tinggal di sebuah rumah yang cukup besar dengan 2 anak balita. Tinggal di lingkungan keluarga suami, di lokasi terpisah dengan saudara lainnya. Sendiri. Aku menjalani long distance married karena suami harus kerja di beda kota. Ku pikir kenapa harus terpisah kalo tujuan menikah untuk bersama. 

Capek mental emosional adalah akar permasalahan seorang IRT. Mungkin pekerjaan rumah tangga tidak seberapa, tapi hati yang teraduk-aduk berimbas pada kelelahan fisik. Anak GTM, sulit belajar, tuntutan pendidikan anak yang baik, pertengkaran kecil sang kakak dan adik, tidak punya me time, minder, merasa terkurung, terjebak, sakit-sakitan, kesepian, merasa sendiri, terbuang, suami jauh yang jarang berkabar, dan belum lagi kalo ada anak yang sakit. Dulu kelelahan emosi ini sulit ku bendung. Tapi saat aku marah, suamiku akan lebih marah bahkan dia akan pergi dari rumah. Lelah mental dan emosional ini berbahaya. Aku bisa mengalami kesedihan mendadak tanpa alasan. Terkadang menangis meronta-ronta hingga kejang di lantai. Yang terparah aku sering memikirkan cara bunuh diri. Imbas terburuk tentu pada anak.

Konseling psikologi pun aku coba. Aku tahu aku tidak boleh terpuruk dalam keadaan ini. Berguru pada yutub juga menjadi andalanku. Di sana banyak tips mengatasi mental illness dan penyakit-penyakit kejiwaan lain. Pada akhirnya aku tidak bisa bergantung dan mengandalkan siapapun selain diriku sendiri. Menahan emosi sebisa mungkin tanpa harus tahu cara meluapkannya. Harus kutanggung sebisa mungkin karena aku menyadiri ini sudah takdirku. Tak ada cara lain selain menjalaninya.

Kadang melihat cerita kesusahan orang lain dari yutub cukup membantuku survive. Mereka yang terpuruk dan bisa bangkit. Dibanding dengan cerita keterpurukan orang-orang tersebut, depresi IRT sungguh tidak ada apa-apa nya. Di situ aku merasa sangat kerdil. Aku hanya cukup berperang dengan diriku sendiri. Doaku dulu di masa muda, semoga hidupku kelak bisa menjadi orang yang berguna untuk orang banyak. Meski doa itu belum terkabul aku terus mengupayakannya. Jika aku tidak selesai dengan dirku sendiri bagaimana aku bisa berguna bagi orang lain.

Kalo kamu seorang IRT seperti aku, tetap semangat yaa. Kamu nggak sendiri. Bahkan di luar sana banyak single parent yang perjuangannya lebih berat dari yang aku alami. Anggap saja IRT yang ekonominya masih ditanggung suami itu beban yang tidak seberapa. Perjuanganku menghadapi depresi ini memang belum berakhir. Paling tidak aku terus berusaha untuk mengatasinya. Ingat anak setiap kali pikiran buruk hadir. Aku ingat aku memintanya dalam tiap doa sehabis shalat sebelum dia datang. Kini mereka menjadi tanggung jawab dan kewajibanku, menjaga dan mendidik anak titipan Tuhan ini sebaik mungkin. Doain aku bisa dan kuat yaa.


Comments

Popular Posts