Euforia Pemilihan Presiden 2014

Saya tak pandai menulis layaknya mba Dian Paramita juga Tasniem Fauzia. Yang bisa menuliskan dengan gamblang uneg-uneg mereka sebagai opini publik yang dapat mewakili masing-masing calon pasangan presiden tahun 2014 ini. Saya tak selihai mereka dalam merangkai kata-perkata hingga menjadi sebuah karya tulis yang terstruktur dengan indah. Ah iyaa, saya hanya ingin menulis saja. Meski banyak belopatan sana-sini. Setidaknya saya mampu mencurahkan pendapat tentang pelaksanaan pemilu presiden tahun ini.

Pesta pemilu presiden tahun ini seakan mengandung aura mistis yang mendalam. Bayangkan saja banyak pihak yang sama sekali tidak terlibat dalam lingkup perpolitikan di Indonesia berduyun-duyun turut sumbang pendapat tentang pasangan jagoan mereka. Mulai dari akademisi, mahasiswa, pelajar, dan lingkup RT RW di kelurahan. Seakan mereka benar-benar butuh untuk menyumbangkan satu suara dukungan dalam pemilu kali ini. Menyimak penuturan dari beberapa teman yang cukup lama menjatuhkan pilihan untuk golput pada tiap pemilu, lain soal dengan pemilihan presiden tahun ini. Meski mereka bukan simpatisan salah satu partai, bahkan banyak yang rela melakukan kampanye dukungan terhadap salah satu calon presiden. Tentu saja yang seperti ini tidak membutuhkan bayaran. Lebih karena tergerak untuk turut memeriahkan pesta demokrasi dan pembelaan kepada jagoan mereka. Mungkin karena calon presiden tahun ini hanya melibatkan dua pasangan (Prabowo Subianto dan Joko Widodo) maka sangat berpengaruh terhadap meningkatnya animo masyarakat untuk ikut serta turun tangan. Betul kata Anis Baswedan, sudah saatnya kita 'turun tangan'. Kalo cuma mengkritisi kebijakan pemerintah saja kita hanya sekedar 'urun angan'. Urun angan bisa dilakukan oleh siapa saja namun tidak akan memberikan efek sama sekali terhadap kemajuan di sekitar kita.

Namun salah satu sorotan dari hal yang sangat membahagiakan di atas di mana semua lapisan masyarakat turut merayakan pesta demokrasi kali ini, ada satu hal yang sangat menggelikan dan mengganggu pikiran. Munculnya black dan negative campaign sudah dapat kita tebak terjadi pada tiap pemilu. Black campaign adalah suatu hal yang dilarang karena berasal dari sumber yang tidak sebenarnya atau tidak diketahui. Lebih karena mengada-ada karena ingin menjatuhkan lawan dengan cara fitnah. Jika negative campaign masih dibenarkan karena dapat digunakan sebagai pertimbangan rakyat untuk mempertimbangkan calon pilihan mereka. Sayangnya black campaign pada pemilu tahun ini lebih kental dan terlihat jelas ketimbang negative campaign yang lebih bisa dipertanggungjawabkan. Black campaign yang dilakukan oleh pihak tertentu menyebabkan kekhawatiran yang sedikit berlebihan. Beberapa tim sukses secara tidak langsung rela menurunkan tingkat logika dan intelektualitas mereka hanya karena mendukung salah satu calon presiden jagoan mereka. Mulai dari kehidupan pribadi, track record keburukan kedua belah pihak, juga yang lebih parah adalah dakwaan cara beribadah seorang calon. Dalam satu kasus, bagaimana mungkin orang yang tidak pernah melakukan ibadah umroh, kurang dalam pendidikan agama, di mana shalat lima waktu sering ditinggalkan mengomentari peribadatan orang lain. Salah satunya adalah cara berpakaian ihrom seorang calon yang bahkan telah lewat masa kampanye, dan sedihnya ternyata photo tersebut hasil dari editing belaka. Penyebaran fitnah melalu photo seorang uskup yang diganti dengan muka seorang capres. Benar-benar pembodohan publik. Slogan internet sebagai pembuka jendela dunia untuk memperluas wawasan kini tak lagi sesuai. Sosial media sekarang menjadi media pembodohan besar-besaran. Benar-benar membuat saya geleng kepala. Dan kampanye black campaign lain yang membuat saya pribadi tak habis pikir dengan apa yang orang-orang pikirkan. Seakan lawan pilihan mereka adalah musuh yang benar-benar harus dihancurkan sehancur-hancurnya. Seringkali pertemanan berakhir permusuhan pun juga hubungan persaudaraan. Hal ini yang sangat kita sayangkan terjadi hanya karena pembelaan terhadap salah satu calon yang berlebihan. Semoga dinamika pilpres tahun ini menjadi sebuah dinamika pembelajaran yang baik juga sehat untuk demokrasi dan kegiatan perpolitikan di Indonesia.

Saya muak dengan fitnah-fitnah yang bertebaran di sosial media. Saya muak dengan mereka-mereka yang doyan menyebarkannya. Ya saya sangat muak sekali. Tidakkah lebih baik berkampanye dengan ide-ide kreatif yang tidak saling menjatuhkan, yang mengedepankan ide dan gagasan. Hah! membual memang lebih mudah ketimbang mengatakan kebenaran di depan mata. Sudah sudah... yaa sudahlah.

Saya pribadi sangat menikmati pesta demokrasi tahun ini, di lain sisi ingin segera berakhir pula. 9 Juli memang telah berlalu, masih harus menunggu 22 Juli untuk hasil akhir keputusan KPU. Siapapun presiden kita nantinya saya akan menghormati keputusan rakyat Indonesia. Semoga negara ini sejahtera merdeka dari kebodohan selayaknya visi misi yang telah dicanangkan para capres saat kampanye. Whatever lah yang penting I love you Indonesia.


Comments

Unknown said…
weeeh... :D
wonten nopo mba Hay :D

Popular Posts