Belajar meng-Indonesia

Aku seorang anak kecil tak pernah bermimpi untuk mendapat keajaiban menjadi orang besar, tapi aku selalu berharap dalam hati itu semua bisa terjadi dalam hidupku sebagai anugerah yang benar nyata adanya. Tak  cuma mimpi yang bisa aku angan-angan dalam hati atau bahkan mimpi sebagai bunga tidur. Aku rasa mengatur suatu negara itu mudah dan mudah sekali. Itu pemikiran anak kecil ingusan sepertiku. Dulu aku tak pernah memikirkan konflik yang sering terjadi pada Negara ini. Kerusuhan yang terjadi di mana-mana hanya aku anggap sebagai tayangan televisi untuk entertainment saja. Aku juga tak pernah menyukai tayangan-tayangan yang aku rasa hanya diperuntukkan oleh orang dewasa. Padahal, ketika aku kecil dulu aku hanya mempunyai stasiun televisi TVRI saja, itupun hitam putih. Sudah barang tentu tayangan berita lebih sering aku lihat ketimbang film-film atau sinetron-sinetron dan hiburan-hiburan lain yang bisa kita lihat saat ini.

Masa kecil yang indah. Aku tak harus memikirkan beban keluarga dan orang-orang di sekitarku. Hidup ku jalani seakan dunia ini sangat indah dan hanya menyimpan keindahan. Hanya terkadang, sedikit suram saat izin tuk bermain tak ku dapatkan karena harus tidur siang. Tapi aku dulu anak nakal lho! Saat izin tak ku dapatkan aku tetap keluar rumah dengan gaya pencuri ayam yang mengendap-endap sambil membawa sepeda sepelan mungkin sampai tidak mengeluarkan suara agar ibuk tak terbangun dari tidurnya. 

Kembali pada bahasan Negara. Sekarang aku sudah menjadai seorang cewek dewasa yang mulai mengerti makna hidup juga kehidupan. Bagiku Negara ini sungguh berharga dalam hidupku. Sebagian dari jiwa walau bukan separuh darinya. Tapi justru hilang sudah semua keinginanku untuk menjadi pejabat besar di Negara ini. Melihat huru-hara yang sering terjadi, membuatku sedikit muak dengan ini semua. Tak terbersit lagi mengharap keajaiban menjadikanku sebagai pejabat besar negara. Akan tetapi, semakin banyak peran yang masyarakat dan pemerintah mainkan, aku semakin sangat menggandrungi tayangan berita ketimbang sinetron dan infotainment lainnya. Mungkin karena sedikit dari peran yang mereka mainkan sudah aku pelajari di bangku sekolah. Aku menjadi mengerti ketika tayangan buaya dan cicak sering ditampilkan di televisi akhir-akhir ini. Tak mudah ternyata menjadi orang besar yang harus adil terhadap warganya. Tak mudah menilai dan menghukumi suatu kasus yang terjadi. Tapi kadang aku sering geram dibuatnya, contohnya saja tayangan peradilan seorang nenek berumur 50 tahun yang dipenjara rumah selama 3 bulan dan kurungan selama 1,5 bulan hanya karena tuduhan pencurian kakao di ladang suatu perusahaaan. Jika kita belalakkan mata Negara, hukuman apa yang pantas untuk orang yang telah mengambil uang hak Negara sebanyak trilyunan  jumlahnya. Dunia, benar-benar panggung sandiwara.

Bukan Karya Narasi
Ini adalah tilisan anak usia 19 tahun yang menginjak dewasa namun belum menemukan kedewasaaan dalam hidupnya. Memahami negaranya yang tak kian juga reda dengan konflik yang membara. Mencoba tertatih dalam semak belukar berupa dunia. Saat jilbab menjadi simbol keberadaan dia di manapun berada, Islam sangat melekat sekali di tubuhnya. Di antara segolongan orang-orang yang secara terbuka terlihat menjatuhkan agama yang dianut sang gadis. Mungkin alasan yang keluar dari mereka terlihat seperti fakta dan mengubah kita untuk berpikir secara rasionalis, tapi aku lebih menganggapnya sebagai dakwaan. Tak cukup mengenai diskusi keagamaan seputar jilbab dan lainnya, melainkan merambah tentang ide dan pikiran mereka mengenai kehidupan sosialis yang menyimpang dalam masyarakat. Otoriter lebih pantas untuk menilai pemikiran mereka. Sedikit memaksa dengan tidak mau kalah dengan usul yang mereka ajukan. Bagaimanapun juga, kita harus memahami perbedaan. Perbedaan adalah rahmat. Entah dalam artian mana aku memahaminya. Walau hati dan perasaan ini sedikit menolak dari apa yang ada. Berkecamuk tak tentu, mengarah kepada sesuatu yang mengharu biru. Look glass self yang diajarkan dosen sosiologi tentang melihat seseorang dari kacamata kita sungguh masih sangat jarang sekali kita temui dalam masyarakat. Mulai dari teman asrama yang sudah sama-sama dewasa namun masih berpikir layaknya anak TK dalam keluarga cukup membuatku ngenes dalam hati. Di sisi lain, bukannya aku merasa dewasa dan sebagainya, namun bagaimana memupuk rasa look glass self itu bisa tertanam dengan subur dalam diri setiap orang dewasa?  

Comments

Popular Posts