I Call Her Simbah Putri

Tentang simbah...

Namanya Marni, simbah putri adalah orang tua dari ibuk. Beliau salah seorang yang sangat berjasa dalam hidup penulis. Karena profesi ibuk sebagai guru, mengharuskan simbah turun tangan dalam mengasuh penulis sewaktu balita, khususnya dari pagi hingga siang. Di samping kehidupan balita penulis yang dihabiskan di Semarang dengan mak Paidi, mak Giman, mak Gimah, mbok Itum, dan sederet nama lainnya simbah menempati posisi utama setelah ibuk abah. Simbah sendiri lupa beliau lahir tahun berapa, hanya ingat bahwa beliau dinikahkan usia 17 tahun.

Beberapa kali ramadhan kami (keluarga penulis) takjub bahagia karena simbah masih berada di tengah-tengah keluarga. Seiring beberap kali ramadhan berlalu, kebahagiaan itu mulai teriritasi dengan duka. Usia simbah sangat senja, simbah sudah terjangkit sakit pikun.

Simbah seorang pekerja keras di masa mudanya, hingga usia membatasi tenaga yang ia miliki. Di usia senja kini simbah tak bisa bekerja, hanya duduk dan seringkali berjalan-jalan menengok rumah anak-anaknya. Simbah paling tidak bisa melihat kotoran (debu), pikirannya tidak tenang (risih) dan tangannya selalu gatal ingin membersihkan. Kebiasaan itu kini menurun pada cucunya (penulis).   

Setahun lalu simbah masih suka meracau berbagai cerita yang bisa dipahami. Cerita tentang masa mudanya yang dijodohkan oleh orang tua, juga kesabaran setelah beberapa tahun baru memiliki putra pakpuh Miftah, budhe Ndati, dan ibuk. Cerita tentang dongeng purba, tentang kemben (kain panjang/jarik yang dipakai untuk menutupi dada hingga lutut) disebutnya pakaian paling mewah para wanita di zamannya, daripada telanjang bulat.

Sore ini lain cerita...
Dari 3 bulan lalu karena pikun yang akut, simbah sering tertukar dalam menyebut identitas anak-anak dan cucunya. Sore ini penulis hanya butuh satu kali untuk memperkenalkan diri. Pertanyaan simbah kali ini berbeda, “kamu sudah punya pacar?”. Penulis terhenyak, hanya menjawab dengan senyuman dan menganggap itu candaan. Ternyata simbah kembali mengulang pertanyaan yang sama hingga lima kali. Penulis menjawab, “belum”.

Seusai mandi, sambil menggandeng simbah dan mengganti bajunya, simbah kembali mengulang pertanyaannya lebih dekat dan tegas. Setelah pertanyaan tersebut diulang sebanyak 5 kali, simbah berbisik dengan cucuran air mata dan suara sesenggukan, “simbah ingin melihat dan mengikuti prosesi pernikahan cucu terakhirnya, itu saja”. Wal akhir budhe yang membantu menenangkan simbah, hingga isak tangisnya mulai meregang. Esok harinya simbah sudah memulai aktifitas pikun kembali. 

Pernikahan sendiri adalah sesuatu yang sakral bagi penulis pribadi. Ketika ijab dan qabul dikumandangkan, pertanda janji setia hingga akhir hayat diproklamasikan. Bukan saja perjanjian antara dua orang manusia putra adam-hawa, melainkan janji mempelai pria-wanita untuk hidup bersama dalam suka duka kepada orang tua, keluarga, masyarakat, juga di hadapan Tuhannya.


Jodoh dan mati adalah kuasa Tuhan. Semoga simbah berada di tengah-tengah keluarga kami lebih lama lagi, setidaknya hingga penulis menemukan jodohnya. Atas nama Tuhan Allah, sungguh Ia Yang Maha Berkehendak atas segalanya.    

Comments

Popular Posts