Tanah Marunda
Saat ini Ibu Pertiwi sedang menangis dan bersedih hati. Alamnya
yang dulu indah tinggal kepingan penyesalan yang tersisa. Manusia kurang
memetik hikmah yang sering ditimbulkan oleh alam. Mungkin alam ini telah murka.
Manusia memilih untuk menyiksa diri mereka sendiri. Mengkonsumsi miras yang
mematikan, rokok yang tak hanya membunuh diri sendiri namun juga orang-orang di
sekitarnya. Generasi lama yang telah bersusah menanam pohon, generasi baru yang
menebanginya. Alangkah lucunya negeri ini, sesuai dengan judul film mas Deddy
Mizwar yang ditayangkan di layar lebar. Di mulai dari pemerintah atas dengan
tingkahnya yang menggelitik rakyat. Ulah rakyat kecil yang merangsang miris ulu
hati, menggetarkan hati tuk menangisinya. The
people will get their goverment they deserve. Pancaran pemimpin adalah
rakyatnya.
Marunda adalah perkampungan nelayan yang terletak di daerah Jakarta Utara. Untuk menempuh ke daerah perkampungan nelayan Marunda, kita membutuhkan kendaraan pribadi karena tak tersedianya angkutan ke wilayah tersebut. Daerah yang bisa dikatakan kumuh dan terisolasi. Ada beberapa rumah yang keadaannya tak jauh beda dari rumah sekitar namun memiliki fasilitas yang cukup memadai. Udara yang panas di siang hari dapat mencengkeram ubun-ubun kepala ketika kita injakkan kaki di Marunda, namun sedikit terkikis dengan alunan anginnya yang semilir.
Marunda adalah perkampungan nelayan yang terletak di daerah Jakarta Utara. Untuk menempuh ke daerah perkampungan nelayan Marunda, kita membutuhkan kendaraan pribadi karena tak tersedianya angkutan ke wilayah tersebut. Daerah yang bisa dikatakan kumuh dan terisolasi. Ada beberapa rumah yang keadaannya tak jauh beda dari rumah sekitar namun memiliki fasilitas yang cukup memadai. Udara yang panas di siang hari dapat mencengkeram ubun-ubun kepala ketika kita injakkan kaki di Marunda, namun sedikit terkikis dengan alunan anginnya yang semilir.
Menurut cerita dari salah satu nelayan Marunda, keadaan yang
mengenaskan dan terpojokkan sedang menimpa mereka. Mencari ikan adalah mata
pencaharian pokok harus ditangguhkan ketika segerombol nelayan asing menegur
dan mengaku bahwa daerah yang mereka singgahi saat ini adalah daerah tangkapan
asing. Batas wilayah tangkapan yang semakin menyempit menghambat bahkan
memacetkan mata pencaharian para nelayan Marunda. Penangkapan ikan harus
dilakukan secara berkala karena menipisnya jumlah populasi ikan yang sering
ditangkap. Ketika musim ikan belum tiba, para nelayan menggunakan waktu mereka
untuk memperbaiki perahu-perahu rusak. Adapun kegiatan yang dilakukan oleh para
istri nelayan itupun sangat beragam. Dari mengumpulkan kerang laut, menjemurnya
dan mereka olah sebagai makanan untuk mereka jual. Tak sedikit pula yang
berdagang makanan kecil dengan membuka warung atau berdagang dengan menjajakannya
ke daerah sekitar tepian pantai. Hasil yang didapat tak cukup banyak dan sangat
terbatas untuk memenuhi kebutuhan sehar-hari.
Pendidikan yang dienyam oleh anak para nelayan itupun sangat
minim. Untuk pendidikan PAUD dilaksanakan di pondok kecil tempat pengajian
desa. Karena terbatasnya bangunan, para pelajar tidak bisa leluasa memamerkan atau
memajang karya mereka di dinding. Tenaga pengajar terdiri dari ibu-ibu lulusan
SMP yang tergerak hatinya untuk meningkatkan taraf pendidikan para anak
nelayan. Di samping mengajar PAUD, mereka juga mendampingi anak SD/SMP untuk
bimbingan belajar. Jarak tempuh SD/SMP terdekat
di kampung Marunda harus ditempuh jarak sekitar 5-6 km. Taraf pendidikan yang
sulit masih banyak kita temukan di Negara yang telah merdeka. Surat pengaduan
kepada pemerintah mengenai wilayah penangkapan ikan yang semakin sempit tak
kunjung ditanggapi. Permohonan peningkatan atau sekedar perhatian
terhadap taraf hidup nelayan pun tak kunjung tiba. Lalu dinamakan apakah
negara yang pejabatnya semakin kaya dan rakyatnya semakin miskin dan terlunta?
Namun banyak
yang tak kita sadari. Benarlah dalam kata pepatah bahwa gajah di pelupuk mata
tak tampak, semut di seberang lautan tampak. Bila kita perhatikan, pemandangan
Marunda di sore hari menyimpan keindahan yang menawan. Warga dapat menikmati
keindahan matahari sore di Marunda. Berhubung dengan tempat yang layak
dijadikan wisata alternatif bebas biaya bagi masyarakat Jakarta Utara ini,
Pemprov DKI Jakarta berjanji akan mempertahankan keberadaan pantai publik
Marunda. Di tempat itu pula terdapat peninggalan rumah si Pitung yang
terletak di Marunda Jakarta Utara. Bangunan
ini konon dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai tempat tinggal si
pitung sang jawara Betawi. Sebutan masyarakat pribumi tempo dulu untuk kota
Batavia yang sekarang berubah menjadi Jakarta. Nama besar Pitung begitu
menggaung saat era pemerintahan kolonial Belanda masih berada di Indonesia. Rumah panggung yang berarsitektur khas Cina ini,
berukuran 40 x 8 meter persegi. Berdiri di atas tanah seluas 700 meter persegi.
Lantai aslinya terbuat dari bilah-bilah bambu. Sementara itu, dinding rumahnya
terbuat dan kayu jati yang tidak dicat, sehingga terlihat jelas warna asli kayu
jati tersebut. Di samping bangunan rumah, terdapat pula dua buah kolam yang
dasarnya masih tanah. Tahun 1972, Pemerintah DKI Jakarta mengadakan
pemugaran rumah tersebut. Sayangnya, akibat pemugaran tersebut, beberapa
keaslian bagian dan rumah tersebut banyak yang hilang, misalnya, lantai rumah
yang semula bambu, diganti dengan kayu. Dinding rumah saat ini, telah dicat
dengan sejenis pelitur kayu yang berwarna merah tua. Kemudian, kolam yang
berada di sekitar rumah, seluruh bagiannya telah dipasangi keramik termasuk
beberapa jalan setapak di sekeliling rumah tersebut juga dipasangi keramik. Atap
genteng rumah juga telah diganti, namun warnanya masih tetap sama. Rumah
tersebut, kini telah dipasangi listrik, sehingga tidak menimbulkan kesan
angker, seperti sebelumnya.
Indonesia menyimpan kekayaan alam yang tak sedikit. Negeri ini
adalah negeri kaya raya. Kekayaan alamnya mulai dari batu bara, minyak bumi dan
keindahan yang juga mencitrakan kekayaan suatu bangsa. Sayangnya sebagian
penduduk hanya mengeluh dengan menyimpan harapan kepada para penguasa yang tak
kunjung menyalurkan tangan mereka. Sehingga harapan itu berbuah asa yang hampa.
Jika terjadi tanah longsor akibat hutan yang gundul, tak seharusnya tuntutan
diajukan kepada pemerintah. Bukan pemerintah yang menebangi pohon itu, bukan
pemerintah pula yang menginginkan bencana serta musibah itu terjadi. Dan bahkan
tak seorangpun yang menginginkan suatu bencana terjadi pada diri juga bangsanya
kecuali otaknya telah berpindah di kedua belah lututnya.
Saat ini bukan waktu yang tepat untuk meratapi. Jika para pemuda
masa ini kepada dirinya sendiripun tak ia hiraukan, lalu apa yang terjadi
dengan negara dua puluh tahun yang akan datang. Bumi ini sudah semakin panas.
Bangunan kaca di ibu kota telah mencakar cakrawala yang dulu biru berseri
menjadi suram bergulung awan hitam. Mulai saat ini mari kita jaga kelestarian
yang semakin terabaikan. Matikan rokokmu dan sayangi alam. Dengan membuang
sampah di tempatnya, menanam pepohonan di lingkungan sekitar, hemat kertas, dan
kegiatan apapun yang bisa menjaga kelestarian ekosistem darat, laut, dan udara.
Bumi ini adalah amanah pemberianNya untuk kita jaga. Jangan biarkan alam menjadi murka.
Bersama-sama kita bisa. LET'S GO
GREEN
Comments