Yang Terdalam



Oh Pondok ku, tempat naung kita. Dari kecil sehingga dewasa. Rasa batin damai dan sentausa. Dilindungi Allah Ta’ala. Oh Pondok ku, engkau berjasa pada ibu ku Indonesia. Tiap pagi dan petang kita beramai sembahyang. Mengabdi pada Allah Ta’ala di dalam kalbu kita. Wahai pondok tempatku, laksana ibu kandungku. Nan kasih serta sayang padaku. Oh Pondok ku… IBUKU
Al-Iman yang terdalam…
KH. Mahfudz Hakiem, sosoknya yang agung kan slalu terkenang di hati para penghuni pondok yang kita banggakan “Al-Iman”. Wajahnya yang santun, memberikan keteduhan pada setiap mata yang memandang. Tutur kata beliau menuai kesejukan pada hati setiap insan. Lembut lakunya, tegar tindak-tanduknya, bijaksana dalam setiap hal. Beliau lah pendiri Pondok Pesantren Al-Iman. Banyak kata yang bisa mengisahkan riwayatnya namun tidak dengan melukiskan keagungan pekerti sang Mahfudz Hakiem.
Aku mengenal beliau tak cukup lama, belum genap dua tahun setelah masuk Al-Iman. Di tahun kedua keberadaanku di pondok itu, tepatnya 29 Februari 2004 beliau meninggalkan kami anak-anaknya yang sangat mencintainya. Masih teringat jelas kesedihan kami saat itu setelah mendengar kabar bahwa beliau telah dipanggil oleh Yang Kuasa. Aku sendiri belum terlalu mengenal secara dekat sisi agung beliau ketika itu, namun aku bisa merasakan sesak yang mendera saat kami dipaksa untuk merelakan kepergian ayah tercinta. Hanya lantunan surat Yasin menggema memenuhi masjid Ar-Rahmah yang turut berduka. Kala itu tak banyak ucap kata yang keluar dari mulut para santri, hanya sesekali sesenggukan tangis terdengar. Di sudut kamar karantina, teriakan histeris yang cukup menghiba dari kakak kelas enam yang kecewa karena khotaman nanti sang ayah tak bisa melepas kepergian serta hadir dalam wisuda. Sampai saat ini masih teringat jelas waktu kelabu itu, ketika semua warna mengharu biru.
KH. Mahfudh Hakiem
Beliau juga belum sempat mengajar di kelas kami, anak-anak alumni 2008. Ketika itu, tepatnya aku duduk di bangku kelas II KMI. Pengajaran memang tak selalu harus diadakan di dalam kelas. Khususnya aku banyak belajar dan mendengar petuah-petuah beliau ketika berceramah seusai shalat jama’ah. Beliau terbiasa ceramah tanpa menggunakan speaker (pengeras suara), aku ingat itu. Suara beliau yang lembut dan sayup terasa bak buaian penghantar tidur, namun tidak untuk kami yang selalu setia mendengar dongeng-dongeng berisi kebajikan nan bersahaja. Di saat-saat seperti ini, matapun menolak untuk terpejam karena telah terhipnotis oleh aura kesantunan beliau. Kelas memang tak banyak memberi harapan. Nilai yang tinggi juga tidak bisa jadi satu-satunya pegangan. Terkadang pengalaman aktifitas sehari-hari lebih  memberi  pelajaran yang bermakna dalam kehidupan ketimbang pendidikan formal. Seperti kata Mark Twain, ”Saya tidak akan pernah membiarkan sekolah mengganggu pendidikan saya”. Ia adalah seorang novelis, penulis, dan pengajar berkebangsaan Amerika. Mark Twain adalah nama pena dari Samuel Langhorne Clemens yang tinggal di sebuah kota kecil di pinggir sungai Missisipi Amerika Serikat dan akhirnya pindah ke California karena Perang Saudara Amerika yang terjadi di tahun 1860. Ada benarnya, rentetan gelar memang tidak memberi jaminan terhadap para sarjana untuk bisa hidup bahagia kelak. Kembali mengutip dari Anis Baswedan Rektor Universitas Paramadina yang mengatakan bahwa, “IP tinggi hanya mengantar anda ke job interview. Tapi leadership yang akan menentukan masa depan”. 
Wibawa Mahfudz Hakiem tak berhenti hingga saat kematian menjemputnya. Tujuh tahun hidup yang aku lalui di Al-Iman telah banyak mengenalkanku pada sosok yang santun itu. Walau jasad beliau sudah tak berada bersama kami, namun semangat perjuangannya tetap tumbuh di hati para keluarga Al-Iman untuk mempertahankan pondok. Melanjutkan setelah beliau KH. Imam Bajuri sebagai pimpinan pondok Putri dan KH. Ahmad Zawawi sebagai pimpinan pondok Putra. Jiwa keikhlasan dan ketulusan Mahfudz Hakiem diwarisi oleh penerusnya yang juga tak kalah tangguh untuk terus mengemban amanah li’ilai kalimatillah. Satu pesan yang juga masih terngiang hingga saat ini ketika raga telah tak bersama Al-Iman, “pondok perlu dibela, dibantu, dan diperjuangkan”. Mengenal Mahfudz Hakiem adalah pelajaran bahwa hidup itu sebuah perjuangan. Ia tak akan berhenti memberi mu terpaan sebagai sebuah ujian agar kamu lebih kuat dan tangguh layaknya karang di lautan. Pandai-pandailah menjaga lisan, karena sungguh pangkalnya petaka berasal dari sana. Atur waktumu karena ia tak akan berhenti untuk mengejarmu. Dan sungguh kebahagiaan itu bukan dicari melainkan engkau ciptakan.
Mengingat Al-Iman adalah mengulang kembali detil pelajaran yang mengajari aku untuk hidup lebih dewasa. Mengenangnya, tak lekang dari ingatan untuk terus berterima kasih kepada seluruh keluarga pondok, ustad-ustadzah, dan seluruh penghuninya yang mengajari aku akan arti kehidupan. Entahlah, tidak terlalu berlebihan jika setiap membuka kembali lembaran agenda kelas enam dan membaca pesan dan nasehat dari para keluarga pondok membuat bulir-bulir bening ini berjatuhan. Untuk saat ini memang belum ada yang bisa aku persembahkan padamu OH PONDOK KU. Kelak jikalau aku telah menjadi orang, bahkan tak ada jumlah materi seberapa pun banyaknya yang bisa ku bayarkan untuk membalas jasamu. Meski ku tahu kau tak kan pernah menagihnya nanti. Tulus cinta kasihmu adalah sebuah nikmat yang tak terperi, Oh Al-Iman Pondokku laksana ibu kandungku.
Dear God, the only thing I ask to U is to hold them when I’m not arround and I’m much too far away.  Love them just like when I was in their affection. Give health and long life so they can continue the struggle.
My Beloved Boarding School Al-Iman


Jakarta, 15 April 2011

At 12:40 am



Lutfi Khoiri Rosyidah/2008

Comments

Popular Posts