Manusia Gerobak dan Keadilan Tuhan

Kamu merasa sebagai salah satu orang yang dirundung duka dengan naiknya BBM saat ini? Yang pergi melakukan demo di mana-mana dan memprotes pemerintah untuk tidak menaikkan harga BBM? Padahal kalian masih bisa hidup lebih dari cukup dengan harga BBM 6.000 tiap liternya. Kamu masih memiliki harta yang berlebih untuk sekedar berhura-hura dan membeli barang-barang sekunder bukan? Demo dilakukan di berbagai tempat dengan dalih menyuarakan suara rakyat bawah. Yaa, memang semuanya tidak ada yang salah dan benar-benar keliru. Namun tidakkah kamu menyadari bahwa bahwa ada juga yang tidak memikirkan hal ini sama sekali. Siapakah dia? Dia adalah manusia gerobak dan keluarganya. 

Perasaan yang cukup mengenaskan terjadi di sekitar jalan arah Pancoran-Pasar Minggu. Ketika itu penulis melewati jalan tersebut sekitar pukul 22.00 WIB dengan menaiki sebuah motor bersama seorang teman. Di jalanan Ibu Kota, pukul 10 malam bisa dikatakan belum terlalu malam untuk keramaian jalan. Jalanan sudah sedikit longgar namun masih ramai dilewati kendaraan berlalu-lalang. Tahukah kawan, apa yang penulis temukan? Banyak gerobang berentetan di pinggir jalan. Sebetulnya tidak terlalu aneh dengan gerobang pemulung yang sering ngetem di pinggir jalan. Toh bukan pun di Ibu Kota, di kota lain juga banyak ditemukan. Ada satu hal yang tidak dapat penulis lupakan dalam pemandangan tersebut. tiba-tiba saja kening dan dahi berkerut seraya terus beristighfar sembari tangan mengelus dada. Tragis kawan jika kau tahu, yaa TRAGIS!!!
Kebanyakan dari gerobak tersebut bukanlah mengangkut sampah atau kaleng-kaleng minuman yang telah kosong. Melainkan gerobak itu berisi sebuah keluarga yang memperumakan gerobak tersebut adalah rumahnya. Ada seorang lelaki yang terlihat sebagai ayah dan kepala keluarga, juga perempuan setengah baya yang penulis tebak sebagai istri dari lelaki tersebut, dan yang terakhir adalah seorang bahkan lebih dari seorang anak dalam sebuah gerobak yang mungkin ia adalah anak mereka. Dengan berlapis Koran dan alas seadanya, mereka menyulap gerobak itu sebagai rumah mereka. Tentu saja tak beratap, mungkin cukuplah langit sebagai atapnya. Sang anak bahkan bermain dengan anak-anak kecil yang rumahnya (baca: gerobak) berdekatan dengan milik mereka. Teratawa lepas dan bermain dengan alur muka yang lugu seakan yaa inilah keadaan mereka yang sebenarnya. Keadaan yang cukup membahagiakan meski dengan perabot seadanya. Bahagia karena cukuplah ada ayah dan bunda di samping mereka. Bahagia karena belum paham akan kesusahan yang sedang mendera diri mereka. Bahagia yang lugu, bahagia yang membuat siapa saja yang memandangnya mengharu-biru.
Tak ada nampak bersih seperti halnya perumahan dalam dunia nyata. Di garis wajah mereka tampak keadaan layu oleh kerasnya Ibu Kota Jakarta. Wajar saja, ketika itu malam telah tiba. Tentu di siang hari mereka bersusah payah dan bekerja mengais rezeki hanya untuk mencukupi kebutuhan makan dua kali sehari di hari yanga sama. Dan besok mereka harus melanjutkan perjuangan yang sama untuk bisa bertahan hidup di hari selanjutnya.
Lebih dari dua puluh gerobak yang berhasil penulis amati dan hitung secara tidak serius. Bayangkan saja, di arah Pancoran-Pasar Minggu tersebut mereka berada di dua sisi jalan sekaligus sehingga menyulitkan penulis dalam berhitung. Apalagi ketika itu perasaan sudah bercampur baur oleh rasa iba dan seakan tak percaya. Ketika itu sedang musim kemarau, dipastikan langit cerah dan hujan juga tak akan turun. Namun sempat terpikir bagaimana jika musim hujan tiba? Mungkin mereka hanya mampu berimigrasi ke bawah jembatan layang, emperan toko, dan lain sebagainya. Sampai saat ini penulis juga belum memiliki jawaban atas keadaan yang seperti apa yang tengah mereka alami. Yang pasti pemandangan di malam itu benar-benar tragis dan membikin trenyuh manusia berbudi dan yang masih ingat dengan sesama.
Bahkan tadi pagi, seorang bapak separuh baya dengan gerobak dan dua orang anak perempuan di dalamnya bermain gembira di tikungan jalan desa. Keadaan tersebut tak jauh beda dengan apa yang penulis temui beberapa malam yang lalu. Manusia gerobak dengan keluarga mereka. Bahkan ketika penulis amati dari dekat, gerobak sang bapak itu dibagi menjadi tiga bagian. Satu bagian besar berisi kaleng-kaleng kosong, dan dua bagian kecil yang dilapisi kardus agak tebal berisi tempat tidur bagi kedua anaknya. Jika dilihat dari mimic muka dan keadaan tubuh sanga anak, mungkin mereka baru berumur kurang lebih 2 tahun koedua-duanya. Sekali lagi, kedua anak dalam gerobak itu tak tahu-menahu dengan keadaan yang sedang mereka alami. Yang mereka tahu mereka bahagia karena diajak sang ayah jalan-jalan keliling perkampungan walau di bawah sinar matahari yang terik sekalipun. Sungguh senyum yang diberikan kedua anak tersebut senyum tulus dan lugu. Senyum ikhlas yang jarang bisa dilihat dari orang-orang biasanya.
Tentu saja dengan naiknya harga BBM akan naik pula seluruh kebutuhan pokok dan logistic di pasaran. Hal ini tentu saja masyarakat bawah yang berasal dari golongan menengah ke bawah yang menjadi imbasnya. Namun bagaimanapun bukankah Pemerintah memang harus mengurangi subsidi BBM dengan jalan menaikkan harganya saat ini. Karena ketika harga BBM tidak dinaikkan saat ini, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi suatu saat nanti apakah kita masih bisa menikmatinya. Yang penulis tahu, ini adalah resiko Pemerintah untuk memikirkan kaum-kaum termarjinalkan tersebut. Apalagi dengan para Manusia Gerobak dan keluarga mereka. Penulis sendiri tidak bisa berandai-andai memikirkan apakah Tuhan itu adil jika begini keadaannya? Yaa kita memang tidak pernah tahu betul apa yang sedang Ia rencanakan. Namun yang pasti kita tetap harus turut memikirkan keadaan yang “tanggung” ini.     

Kamis, 29 Maret 2012

Comments

Popular Posts